Padang Sidempuan, AgaraNews.com ||Ternyata Mandailing Juga Punya Sejarah Srikandi Pendidikan Diawal Abad 20 Bernama Siti Sahara Lubis.
Siti Sahara Lubis lahir di Muara Sipongi tahun 1896. Ia adalah anak sulung dari Raja Amir Hasan Lubis. Seorang Hoofdjaksa (Jaksa Kepala) yang pernah bertugas di Muara Sipongi dan Panyabungan pada masa Kolonial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun 1903, atas kemauan sendiri, ia masuk Sekolah di Panyabungan bersama empat orang anak Perempuan Mandailing lainnya.di antara teman Sekolahnya adalah Anak seorang Kepala Kuria yang bernama Namora Namargolang (Putri yang Bergelang) dari Bagas Godang Panyabungan Tonga.
Saat itu, baru lima Orang Anak Perempuan saja yang bisa Sekolah di Wilayah Mandailing.peraturan yang ketat dai Kolonial Belanda membuat Anak Perempuan susah untuk bersekolah. cuma keturunan Amtenar dan Kepala Kuria yang bisa untuk Sekolah.
Ketika Sekolah,Siti Sahara tinggal menumpang di Rumah salah Seorang Saudaranya yang bekerja menjadi Mantri Polisi Padang/Pariaman. Namanya Ahmad Amin Sutan Seri Alam. Mantri Polisi ini banyak disebut dalam buku cerita yang berjudul Siti Baheram. Dimana dalam buku tersebut di kisahkan kehebatan Ahmad Amin dalam menggunakan ilmu spiritual. Dia mampu mengungkapkan pembunuhan Siti Baheram yang dilakukan oleh dua orang penjudi (Joki dan Ganduik) secara sadis di Sungai Pasak Pariaman pada tahun 1918. Kisah Siti Baheram cukup dikenal oleh masyarakat Minangkabau sampai sekarang.
Tahun 1918, Gubernur Aceh meminta bantuan kepada Gubernur Padang untuk mencarikan guru-guru yang mau mengajar pada sekolah di Aceh. Gubernur Padang yang dulunya pernah menjabat sebagai Kontelir di Panyabungan, mengusulkan supaya Siti Sahara Lubis dan teman temannya yang berangkat ke Aceh untuk menjadi Guru.
Keluarga Sahara Lubis awalnya tidak mengizinkan.Anak Perempuan yang tanpa sanak saudara akan berangkat ke Aceh.dimana ketika itu berita yang menyebar tentang Aceh Oorlog (Perang Aceh), masih mengharu-biru pada pelbagai surat kabar. Banyak kekejaman perang Aceh diberitakan secara luar biasa hingga membuat keluarga Sahara Lubis khawatir.
Akan tetapi dengan tekad ingin membagi Ilmu dengan Masyarakat dan dengan dukungan moral dari Ahmad Amin yang punya prinsip untuk mendidik Anak Negeri sendiri biar pintar merupakan kewajiban dan amal suci. Sahara Lubis makin mantap hatinya untuk berangkat ke Aceh.dan Siti Sahara Lubis berangkat tahun 1918, bersama tiga orang gadis lainnya, Siti Sahara berlayar dari Teluk Bayur menuju Pelabuhan Ölele, Aceh.
Selama masa perjalanan, mereka dikawal ketat oleh dua orang Polisi yang ditunjuk oleh Gubernemen.
Setibanya di Aceh, Gubernur mengangkat mereka menjadi Onderwijzeres (Guru Wanita). Siti Sahara ditempatkan di Koeta Radja (sekarang Banda Aceh), sebab harus mengikuti kursus bahasa Aceh selama satu bulan.
Setelah selesai,Sahara Lubis ditugaskan ke berbagai Daerah di Aceh, antara lain: Geuroegee, Samalanga, Bireun, Krueng Panyo, Krueng Mane, Lhokseumawe, Panton Labu, Beuracan, dan Tempat lainnya.
Dengan keterbatasan dan berbagai rintangan,Siti Sahara Lubis bisa melewati semua cobaan itu dengan baik. Malahan, Ulubalang dan Teuku di Kampung amat menghormatinya. Sebab, ia adalah seorang Guru Wanita yang bersahaja dan sopan.apalagi Siti Sahara merupakan Guru yang ditunjuk oleh Gubernemen.
Tugas yang dijalani Siti Sahara Lubis memang berat. Ia harus mencontohkan kepada para Murid supaya terbiasa membersihkan tubuh dengan baik, menggosok gigi, memotong kuku dan berpakaian dengan bersih. Ia melarang semua Anak Didik untuk makan sirih selama di Sekolah.
Orang Mandailing sudah berabad lamanya memasak makanan daun ubi tumbuk sebagai sayur makan. Sebagai Anak Mandailing yang tidak bisa lepas dari tradisi, suatu hari ia memasak daun ubi tumbuk.dan ini jadi pengalaman unik untuk masyarakat sekitar.sewaktu menumbuk daun ubi, banyak orang kampung yang heran melihatnya. Mereka tidak tahu sama sekali maksud menumbuk daun ubi tersebut dan untuk apa kegunaannya.ketika ada warga yang bertanya,Siti Sahara menjawab sekenanya aja bahwa daun ubi tumbuk itu akan dipergunakan untuk “obat perut”. Jawaban yang demikian membuat orang kampung heran dan makin penasaran. Setelah selesai dimasak, orang kampung melihatnya dengan lahap memakan daun ubi tumbuk beserta ikan asin dan nasi.
Siti Sahara Lubis coba menawarkan kepada mereka untuk mencoba masakannya.awalnya ragu,tapi ketika di coba enak Orang Kampung malah berebut. ternyata mereka sangat menyukai lauk daun ubi tumbuk tersebut.
Seorang Tokoh Masyarakat sangat mensukuri ke beradaan Siti Sahara di Aceh. “Ka gilih tat, galak itanyo. Kalu tatepu carong tat inong Mandailing.“ (Sudah bersih sekali, senang hati kita. Banyak rupanya kepandaian orang Mandailing ini).
Siti Sahara Lubis akhirnya ditugaskan di wilayah Panton Labu, dimana ia bertemu dengan seorang pemuda asal Mandailing bernama Ihutan Nasution asal Tano Bato. Ia seorang lulusan Normal School di Koeta Radja. Walaupun telah jauh merantau, ternyata Tuhan menentukan jodohnya adalah seorang pemuda Mandailing juga. Mereka kemudian menikah. Setelah menikah, Ihutan diberi gelar adat, yaitu Baginda Mangaraja Lelo.
Perkawinan mereka ideal karena sama-sama berprofesi sebagai guru. Anak perempuan mereka lahir di Desa Geuroegee, yang diberi nama Siti Leider Putri Marlangga Payung. Sedangkan putra mereka lahir di Panton Labu. Namanya adalah ABDUL HAKIM.
Kehidupan yang mereka jalani selama bertahun-tahun di Aceh rupanya harus segera berakhir. Entah siapa yang memberikan Informasi, Gubernemen memberhentikan mereka sebagai Guru.
Sebabnya adalah, Baginda Mangaraja Lelo bersahabat dekat dengan seorang tokoh pergerakan kiri: Natar Zainuddin.dimana Pemerintah Hindia Belanda mencap Natar Zainuddin adalah Pemberontak, pengacau dan tukang bikin onar. Oleh karena itu, siapa pun yang berhubungan dekat kepadanya, langsung ditindak.
Berita diberhentikannya Siti Sahara beserta suaminya menjadi guru, terdengar ke telinga penduduk. Banyak Orang Kampung dan Murid Sekolah tidur berhari-hari lamanya di Rumah Mereka sebelum mereka kembali ke Mandailing.
Di waktu mereka berangkat meninggalkan Aceh, Ribuan Orang-orang Kampung mengantarkan mereka sampai di Pelabuhan.
Dengan tangis dan rasa kehilangan akan Tokoh Pendidik yang bersahaja di daerah mereka Aceh.
Dengan semangat perubahan dan mendidik Generasi Muda agar Pintar dan tidak selamanya di Jajah.Siti Sahara Lubis berani dan mau berkorban berpisah dengan Keluarganya di Mandailing. Semoga sekelumit kisah kehidupan Siti Sahara Lubis. Seorang guru perempuan pertama asal Mandailing yang rela membagi ilmunya sampai ke Aceh. Dalam suka maupun duka bisa menjadi Insfirasi bagi Kita untuk berkarya demi NKRI tercinta.Amiiin. (Ali Yusron Dgr/Lia)