Demokrasi merupakan gagasan dan modal utama dalam berekspresi. Hal ini tentu menjadi nilai lebih bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi. Namun tak ubah, ibarat keran tak lagi mengeluarkan air, ibarat garam tak lagi terasa asin, beginilah sebagian kondisi saat ini. Kekuasaan kini seolah menjadi eksistensi, kejujuran seakan tak lagi ada arti, bagi mereka yang menyandang gelar dipundaknya seolah bagai raja yang berkuasa atas tahtanya.
Lahirnya Undang – Undang Desa No 6 Tahun 2014 menjadi harapan baru bagi pengembangan desa. Wewenang Undang – Undang Desa yang artinya mengamanatkan selain mengatur dan mengurus urusan pemerintahan desa, juga mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Tetapi berbeda dengan kenyataannya, Arogansi Kepala Desa seolah akan selamanya berkuasa, jajaran perangkatnya merasa segalanya seakan hak mereka. Dana yang bertumpuk diperlakukan seenaknya, mereka menganggap itu harta nenek moyang mereka padahal itu semua hanya titipan semata yang berupa anggaran desa. Sungguh mencederai amanat Undang – Undang Desa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kesejahteraan bukan lagi hal yang diutamakan karena kepentingan seakan segalanya. Jika begini, apakah program Dana Desa bisa membawa kesejahteraan pada desa? Jika kesejahteraan tidak bisa dirasakan oleh masyarakat desa apakah Kepala Desa beserta Perangkat Desa sudah melaksanakan peran dan kewajibannya.? Atau hanya sebatas mengisi waktu dan memakan gaji buta.?
Jawabannya ada pada diri mereka sendiri…
Inilah ungkapan perasaan yang tertuang dalam sebuah tulisan, sebuah karya yang bertujuan terhadap pemahaman arti sebuah kehidupan. Titipan ialah titipan, sampai kapanpun titipan itu akan tetap harus disampaikan. Kematian pasti datang, kebaikan adalah sebuah pilihan. Tapi apakah bisa ketika kematian itu datang kita sudah berada pada kebaikan?
Jawabannya ada pada diri kita…
Penulis : Muhammad Isa, S.IP