Medan,Agaranews.com // Demokrasi memang bukan sekadar kebebasan menyampaikan pendapat. Begitu pula, dalam sistem pemerintahan, demokrasi belum tegak hanya dengan dibuatnya sistem pemilihan umum.
Demokrasi berarti juga bahwa setiap tahapan pemilu itu harus berjalan dengan sehat dan subur, termasuk kontestasi nya. Tanpa itu, demokrasi hanyalah semu.
Dalam arti semu KKBI yaitu tampak seperti asli (sebenarnya), padahal sama sekali bukan yang asli (sebenarnya).Dalam dunia demokrasi saat ini,yang selalu menyuarakan tentang perbedaan, biar pun dalam pemikiran tetap terpenjara. nilai nilai tentang kesetaraan tapi tertutup soal keberagaman. Kekuatan baru dalam demokrasi semu itu akan mempengaruhi nilai demokrasi yang sebenarnya yang berintensitas rendah,demokrasi kosong atau rezim hibrida.praktek sistim demokrasi yang bersifat semu. Suarakan kebebasan Namun tidak terima kenyataan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Begitu juga dengan budaya politik masyarakat saat ini,Jaminan Konstitusi bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat menegaskan bahwa sesungguhnya rakyat berhak menentukan secara demokratis dan bebas, berdasarkan pilihan mandiri, siapa saja yang akan memimpin daerah dan Negaranya.
Ini merupakan salah satu wujud demokrasi, yang menempatkan warganegara dalam kedudukan yang bermartabat.
Masyarakat dalam hal ini dapat dimengerti sebagai perilaku, dimana kondisinya masyarakat kurang paham persoalan politik seperti ini memilih pemimpin daerah tetapi mereka sangat aktif dalam memberi komentar
ketika pemilihan sudah terselenggarakan.
Pergeseran warna perilaku pemilih semacam itu tidak lepas dari perubahan-perubahan bahwa para calon yang mereka harapkan bisa melakukan perubahan-perubahan yang tidak bisa berbuat banyak.
Kalaupun ada perubahan-perubahan yang memperoleh banyak keuntungan adalah para calon itu sendiri,harapan demikian berbeda dengan apa yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru.
Kemenangan Golkar dijadikan alat untuk melegitimasi rezim Orde Baru. Manuver politik demokrasi semu ala Pemilu 1971 lantas dikembangkan oleh Orde Baru untuk pemilu-pemilu berikutnya, bahkan dengan cara-cara lebih frontal.
Situasi demikian para wakil rakyat tidak merasa perlu melakukan konsultasi dengan para konsituennya.Tapi ketidak puasan terhadap kinerja pemerintah atau para wakil itu tidak hanya diwujudkan dalam bentuk penghukuman ketidakpuasan itu juga melahirkan Distrust tidak percaya dari para pemilih yang memicu pada suatu kepuasan untuk tidak ikut dalam pemilu dan terlibat dalam partisipasi politik lainnya.
Dalam situasi demikian proses perubahan yang terjadi di Indonesia tidak saja belum mampu melahirkan adanya budaya politik kewarganegaraan. Akan tetapi
melahirkan banyak pola budaya-budaya baru yang timbul akibat pergerakan masyarakat baik itu baik atau buruk yang mempengaruhi jalanya sistem
Sejak awal kalimat “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” selalu di gaung-gaungkan.
Tetapi kenyataannya rakyat sendiri belum dapat melihat dampak positif demokrasi itu sendiri. Banyak Kebijakan-kebijakan untuk rakyat masih tidak terarah dan tidak terealisasikan dengan baik di lapangan. Pelayanan publik pun masih tidak dapat dirasakan hingga kalangan terbawah.
Akan tetapi, pengalaman Pemilu terakhir menunjukkan betapa parahnya dan seringkali pemilih kecewa dengan calon yang dipilih karena ternyata setelah dipilih, para pemimpin yang tidak mendedikasikan dirinya sebagai pemimpin wakil rakyat yang mempunyai integritas tinggi dalam menyuarakan suara yang sesuai dengan janji-janji kampanye. Mereka hanya memanipulasi demokrasi untuk memenuhi hasrat kekuasaan.
Penggunaan media fasilitas umum, digunakan untuk memoles citra mereka sebagai pemimpin yang seolah-olah melayani kepentingan rakyat, berpihak kepada rakyat, peduli kepada kaum tersisih, dll. Dalam rangka meraih suara yang banyak , mereka juga tidak segan berlaku seperti dermawan dengan membagi-bagikan uang dalam jumlah menakjubkan untuk menarik simpati rakyat. Padahal, penghasilan sebagai pejabat pemerintahan tidak akan sebanding dengan pengeluaran yang amat besar ini. Tidak heran jika setelah berkuasa, korupsi menjadi jalan pintas untuk mengembalikan modal, bahkan menarik keuntungan berlipat.
Hal inilah yang dikenal sebagai “demokrasi semu”. Demokrasi tidak kunjung menghasilkan pemimpin berkualitas, melainkan hanya sekedar pemimpin populer. Demokrasi hanya digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan bermodalkan uang dan popularitas. Demokrasi menjadi hanya proses rutin nan semu. Cita-cita negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pun semakin jauh dari kenyataan.
Jebakan demokrasi semu juga memiliki sifat yang berulang. Para pemimpin semu yang dihasilkan akan berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara, termasuk dengan memperalat demokrasi.
Hanya mau diikuti tanpa mengikuti,Hanya mau didengar tanpa mendengar.
Situasi yang kita hadapi saat ini membutuhkan komitmen persatuan dari seluruh pihak, soliditas seluruh elemen bangsa memerlukan pemerintahan yang tenang dan kuat agar dapat bekerja sungguh-sungguh, memerlukan stabilitas politik dan keamanan untuk mengatasi tantangan di masa yang akan datang.
Membangun politik demokrasi yang sehat yang sehat adalah mengembalikan kepercayaan publik melalui keteladanan para pemimpin dan wakil rakyat. Mereka yang mendapat amanat dituntut untuk ikhlas mengabdi kepada masyarakat bukan malah memperkaya diri dengan korupsi.
Kesadaran bahwa kekuasaan dan jabatan yang diraih berasal dari suara rakyat diharapkan dapat membentengi politisi dari tindakan semena-mena. (Rajab Tarigan)