ACEH TENGAH | Pusat Kajian Kebudayan Gayo mengadakan kegiatan Bincang “Sosok, Peran, dan Perjuangan Kolonel Muhammad Din Masa Agresi Militer Belanda (1946-1949)” secara daring melalui Zoom Meeting. Muhammad Din merupakan kolonel pertama di Sumatera yang berasal dari Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh. Bincang tersebut menghadirkan sejarawan sekaligus akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Johan Wahyudi, M.Hum. dan Uwin Bahramsyah, cucu Kolonel Muhammad Din.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Saya kagum terhadap M. Din, bisa melepaskan diri dari Boven Digoel. Boven Digoel seperti camp-camp Yahudi yang dibangun Hitler di Eropa. Tahanan yang dibuang ke Bovendigul punya kisah kelam, seperti Pramudya Antatoer, sastrawan Indonesia. Musuh alaminya adalah malaria, banyak yang menderita, selain siksaan-siksaan yang didera tahanan. Tahanan kelas atas, tokoh yang sangat membahayakan dijebloskan di sana. Kalau ada catatan tentang itu, menarik saya pikir. Apakah M. Din mempunyai ilmu lipat bumi, mempersingkat jarak tempuh, seperti kiayi-kiayi di Jawa. Untuk menempuh jarak yang berkilo-kilo meter, mungkin satu jam atau bahkan sekejap mata. Itu nyata adanya, tidak hanya di Aceh, tapi ada di tempat lain,” kata Johan Wahyudi mengungkapkan ketakjubannya terhadap sosok Kolonel Muhammad Din saat memulai perbincangan Pusat Kajian Kebudayaan Gayo, Jumat malam (26/8/2022).
Info itu diperolehnya berdasarkan catatan-catatan kolonial terkait keterlibatan M. Din dalam perlawanan di Gayo Lues dan Tapanuli, Sumatera bagian utara. Pulang dari Boven Digoel, jelas Johan, M. Din diangkat jadi Ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) Belang Kejeren. “Kolonel M. Din juga membuat sekolah militer, memanfaatkan hubungannya dengan Jepang. M. Din juga sebagai ahli siasat, bagaimana mengamankan kepentingan bangsanya, dengan berkomporomi dengan orang Jepang. Pangkatnya setingkat Kapten atau Taiso dalam bahasa Jepang,” sebutnya.
Dijelaskannya, M. Din diberi wewenang mendirikan sekolah militer sekaligus menyusun kurikulum. M. Din sudah bisa membaca kebutuhan Jepang untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) untuk menghadapi perang Asia Timur Raya melawan Amerika Serikat. “M. Din melihat hal itu sebagai peluang untuk mendidik adik-adiknya, pemuda-pemuda di Belang Kejeren, agar bisa menggunakan senjata. Kemudian, memiliki kemampuan perang modern,” pungkasnya.
Dilanjutkan Johan, kalau melihat anatomi Sumatera Utara ketika terjadi agresi militer Belanda II (1946-1949), banyak faksi-faksi militer di kalangan militer sendiri. “Ada disebut misalnya Barisan Harimau Liar dan faksi faksi militer lain, yang saling bertikai. Mereka memperbutkan wilayah. Jadi, perjuangannya tidak murni lagi menumpas Belanda. Pada tahap ini, Belanda memang berhasil melakukan politik devide et empera, memecah belah di antara kaum pejuang dan kaum republik,” bebernya
Salah satu jasa besar M. Din di perantauan, di Sumatera Utara, ungkp Johan, adalah mendamaikan faksi-faksi tersebut, yang peristiwanya terkenal di Pematang Siantar. “M. Din mendudukkan kepala-kepala faksi militer yang rata-rata memang orang Batak. Ini perlu diblow up, seorang putra Gayo mampu memimpin putra-putra Batak. Beberapa di antara mereka itu justru beragama Kristen atau Nasrani. Apakah ini berkaitan dengan marga Nasutionnya, ini perlu kita selusuri lebih lanjut. Jadi, bukan kaleng-kaleng. Meskipun pendatang, langsung meraih pandangan-pandangan atau perhatian dari para pejuang-pejuang lokal. Alhasil, mampu mereduksi ketegangan karena perbedaan agama, suku bangsa. Itu mampu direduksi kesatuan yang dipimpin Muhammad Din,” tegas Johan.
Bincang “Sosok, Peran, dan Perjuangan Kolonel Muhammad Din Masa Agresi Militer Belanda (1946-1949) Pusat Kajian Kebudayaan Gayo dimoderatori Yusradi Usman al-Gayoni dan merupakan kegiatan ke-28 selama lima bulan, 28 Maret-28 Agustus 2022. Mengenang dan mengenalkan perjuangan pejuang bangsa sekaligus dalam rangka mengisi Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Republik Indonesia, Pusat Kajian Kebudayaan Gayo menginisiasi perbincangan yang membahas perjuangan pejuang-pejuang dari Gayo dalam melawan kolonial dan memperjuangkan sekaligus mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (RED)