Manado,Sulut. Agaranews.com // Dalam kajian dan pengumpulan data dilapangan, tim LSM RAKO mendapatkan ada potensi mal-administrasi dalam penyaluran CSR.
Selain indikasi sasaran yang tidak tepat, indikasi kurangnya transparansi turut kami jumpai.
Beberapa Bank BUMN CSR di gunakan untuk memberikan bantuan kepada pemerintah daerah. selain itu kami juga menemukan CSR di berikan kepada Lembaga Negara atau APH .
Hal tersebut dapat menyalahi perundang-undangan. Penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR) ke lembaga negara dan Aparat Penegak Hukum (APH) berpotensi melanggar undang-undang di Indonesia. Ada beberapa aspek hukum yang perlu diperhatikan:
1. UU Perseroan Terbatas (UU No. 40 Tahun 2007)
Pasal 74 mengatur bahwa perusahaan yang bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun, CSR harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk lembaga negara atau APH.
2. UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001)
Jika CSR diberikan kepada lembaga negara atau APH dan dianggap sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan, maka bisa masuk kategori tindak pidana korupsi.
3. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa CSR harus bersifat tanggung jawab sosial, bukan bentuk donasi kepada institusi pemerintahan atau aparat hukum.
4. Potensi Konflik Kepentingan dan Maladministrasi
Jika CSR diberikan kepada APH, bisa menimbulkan konflik kepentingan karena bisa mempengaruhi independensi dan netralitas dalam penegakan hukum.
Oleh karena itu, perusahaan sebaiknya menyalurkan CSR kepada masyarakat Miskin atau kurang mampu, melalui mekanisme yang transparan, seperti kemitraan dengan lembaga sosial atau organisasi masyarakat sipil yang kredibel baik dimata masyarakat (Publik) Republik Indonesia. Tutup Pimpinan RAKO “.(JS-Lia)