Oleh: Tgk. Muhammad Afif Irvandi El Tahiry
Anggota Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan – HIKMAH KBJ
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Aceh, AgaraNews. Com //.Aceh sudah dua dekade berdamai, tapi damainya belum merdeka. Jika peluru tak lagi menghantam tubuh, maka birokrasi dan pengingkaran janji menghantam martabat. Perdamaian yang dijanjikan dalam MOU Helsinki masih tersandera antara kekuasaan pusat dan pembiaran lokal.
*Damai yang Dihamili oleh Ketakutan*
15 Agustus 2005, dunia menyaksikan penandatanganan MOU Helsinki, lembaran harapan bagi rakyat Aceh yang lelah oleh perang, darah, dan penghilangan paksa. Butir-butir kesepakatan itu disusun bukan untuk sekadar menghentikan senjata, tetapi untuk menghidupkan kembali martabat.
Namun kini, banyak janji MoU yang mandek dalam ruang kekuasaan. Pasal demi pasal diingkari perlahan. Pengakuan simbol Aceh berupa bendera dan lambang daerah dijegal pusat. Kekayaan alam masih dikuasai Jakarta. Wali Nanggroe dikerdilkan fungsinya. Keadilan transisional terjebak dalam laporan tahunan, bukan pemulihan korban.
*UUPA: Undang-Undang atau Undang-Udang?*
UUPA Nomor 11 Tahun 2006 seharusnya menjadi kitab politik Aceh pasca-konflik. Undang-undang ini adalah turunan dari MOU Helsinki, dan menjadi jembatan antara Aceh dan Indonesia. Tapi, 20 tahun berlalu, jembatan itu justru dibongkar perlahan.
Hingga hari ini:
– Qanun Bendera Aceh masih dianggap ilegal.
– Pasal-pasal tentang eksplorasi sumber daya alam tidak dilaksanakan.
– Status Wali Nanggroe hanya seremonial.
– Rekonsiliasi korban konflik masih sebatas narasi kampanye.
*Menuju 20 Tahun MOU Helsinki: Apa yang Harus Dilakukan?*
1. Realisasi penuh dan konsisten terhadap seluruh butir MOU Helsinki.
2. Revisi dan penguatan UUPA agar tidak dimutilasi oleh harmonisasi pusat.
3. Kembalikan hak politik, ekonomi, dan budaya rakyat Aceh sebagai bagian dari perjanjian damai.
4. Lakukan keadilan transisional secara konkret, bukan sekadar proyek.
5. Berikan tempat kepada generasi muda dan dayah dalam proses rekonsiliasi sosial dan politik.
*Penutup: Kami Tak Akan Diam*
Damai tanpa keadilan adalah penipuan. Damai tanpa pengakuan adalah penjajahan baru. Kami di HIKMAH KBJ tidak akan membiarkan sejarah Aceh dihapus oleh kesombongan pusat dan kelalaian elit lokal.
“Sebaik-baik jihad adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim.” (HR. Abu Dawud)
Kami tidak ingin mewarisi dendam. Kami ingin mewarisi hak. Tapi hak itu harus diperjuangkan, bukan ditunggu. Maka jika 15 Agustus 2005 adalah awal kesepakatan, maka 15 Agustus 2025 adalah awal pengingat bahwa rakyat Aceh belum dibebaskan dari belenggu janji yang tak ditepati.(Lia Hambali)
Tgk. Muhammad Afif Irvandi El Tahiry
Anggota Menkopolhukam – HIKMAH KBJ
Banda Aceh, Agustus 2025