BANDA ACEH | agaranews.Com.online — Gubernur Aceh Muzakir Manaf melontarkan pernyataan mengejutkan terkait rencana pemotongan dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat untuk tahun anggaran 2026. Menurutnya, pemangkasan dana tersebut bukan hanya akan menghambat pembangunan di daerah, tetapi juga bisa mengancam kelangsungan pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) di seluruh Aceh.
> “Kalau TKD dipotong, otomatis daerah akan kesulitan untuk membayar gaji ASN. Ini yang menjadi kekhawatiran utama kami,” ujar Muzakir Manaf kepada awak media, Kamis (9/10/2025), di Banda Aceh.
Rencana pemotongan TKD oleh pemerintah pusat mencapai angka fantastis, yakni Rp214 triliun. Di sisi lain, Aceh sebagai salah satu daerah yang sangat bergantung pada dana transfer pusat, diproyeksikan mengalami penurunan alokasi sekitar 25 persen dibanding tahun sebelumnya.
Seperti diketahui, hampir seluruh program pembangunan, pelayanan publik, hingga belanja pegawai di Provinsi Aceh bersumber dari dana TKD. Tanpa dukungan fiskal yang memadai dari pusat, banyak program prioritas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang dikhawatirkan akan terbengkalai.
Gubernur Muzakir menegaskan bahwa kondisi ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Menurutnya, daerah-daerah seperti Aceh masih menghadapi tantangan pembangunan yang besar dan tidak seharusnya dibebani dengan kebijakan penghematan yang justru mengorbankan stabilitas daerah.
> “Aceh bukan Jakarta. Kita masih butuh banyak dorongan untuk infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi rakyat. Kalau anggarannya dipotong, lantas bagaimana daerah bisa menjalankan fungsinya dengan maksimal?” tegas Muzakir.
Pemerintah pusat memang mengumumkan adanya penambahan dana TKD sebesar Rp43 triliun dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Namun demikian, penambahan itu masih sangat jauh dari total TKD tahun 2025 yang mencapai Rp919,9 triliun.
Artinya, meskipun ada penambahan, secara keseluruhan alokasi TKD justru mengalami penurunan drastis. Dalam konteks Aceh, penurunan sebesar 25% berarti hilangnya triliunan rupiah yang selama ini menopang jalannya roda pemerintahan daerah.
Selain itu, pengurangan ini juga dinilai tidak mempertimbangkan beban historis dan geografis Aceh sebagai daerah yang masih berjuang pasca konflik dan bencana tsunami.
Kekhawatiran Gubernur Muzakir bukan tanpa alasan. Pengalaman di beberapa daerah menunjukkan bahwa keterlambatan atau kekurangan dana dari pusat dapat menyebabkan keterlambatan pembayaran gaji ASN, pemotongan tunjangan, bahkan lumpuhnya pelayanan publik.
Gubernur juga menilai pemerintah pusat belum menunjukkan keberpihakan yang cukup terhadap pembangunan Aceh. Banyak proyek infrastruktur penting yang mandek, fasilitas publik yang belum layak, serta angka kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi menjadi indikator perlunya perhatian khusus dari pusat.
> “Kita tidak minta lebih. Kita hanya ingin keadilan fiskal. Jangan sampai Aceh selalu berada di posisi yang dikorbankan ketika pusat melakukan efisiensi,” tegasnya.
Seiring dengan menguatnya suara di tingkat lokal, berbagai kalangan di Aceh — mulai dari akademisi, tokoh masyarakat, hingga legislatif daerah — mulai mendorong adanya evaluasi dan revisi kebijakan pengurangan TKD ini.
Menurut mereka, jika kebijakan tetap dijalankan tanpa mempertimbangkan dampak spesifik bagi daerah, maka yang akan menjadi korban adalah rakyat kecil: ASN yang tidak menerima gaji tepat waktu, guru yang kehilangan tunjangan, dan masyarakat yang tak lagi mendapatkan layanan publik memadai.
Hingga saat ini, pemerintah pusat belum memberikan tanggapan resmi atas kekhawatiran yang disuarakan oleh Gubernur Aceh dan beberapa kepala daerah lainnya. Namun satu hal yang pasti, jika kebijakan ini terus berlanjut tanpa penyesuaian, maka bukan tidak mungkin tahun 2026 akan menjadi tahun penuh tantangan bagi daerah-daerah seperti Aceh. Ady

































