Aceh Tenggara, 22 Juli 2025 — Di bawah atap sekolah negeri, di ruang-ruang yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya intelektualitas dan kejujuran, praktik busuk pungutan liar kembali tumbuh dengan wajah baru: dalih program. SMK Negeri 1 Kutacane diduga memungut uang seragam dari siswa baru hingga mencapai Rp770.000 per siswa. Seragam batik dan baju olahraga dijual paksa kepada orang tua murid, tanpa dasar hukum yang sah, tanpa musyawarah yang adil, dan tanpa ampun terhadap kondisi ekonomi rakyat.
Padahal, larangan itu sudah lebih dari jelas. Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 400.3.1/7031, diteken 12 Juni 2025, secara eksplisit menyatakan: dilarang menerima gratifikasi, pungutan liar, atau suap dalam bentuk apa pun selama proses penerimaan murid baru di seluruh jenjang SMA, SMK, dan SLB. Edaran itu bukan sekadar imbauan, tapi pengejawantahan dari peraturan lebih tinggi: Permendikdasmen Nomor 3 Tahun 2025 Pasal 33 ayat (3) huruf f, yang menegaskan bahwa setiap bentuk pungutan dalam proses PPDB adalah pelanggaran administratif dan etis.
Namun pihak sekolah bergeming. Dugaan pungli itu terungkap ke publik setelah investigasi dilakukan oleh Irwansyah Putra, Ketua Komunitas Rakyat Ekonomi Kecil (KOREK). Irwansyah menerima laporan dari masyarakat yang mengeluhkan kewajiban membeli seragam yang nilainya tidak masuk akal. Ketika dikonfirmasi, seorang staf sekolah bagian kesiswaan mengaku bahwa kutipan dilakukan di bawah payung program BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dalih BLUD ini dijadikan tameng untuk memalak masyarakat. Sekolah negeri berubah jadi toko, kepala sekolah jadi pengelola bisnis. Ini gila. Ini bukan pendidikan, ini pemerasan,” tegas Irwansyah di depan awak media.
Ia menegaskan bahwa kebijakan seperti ini secara terang-terangan melanggar hukum. Tidak hanya aturan administrasi, tetapi juga berpotensi melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebut bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang berhubungan dengan jabatannya dianggap suap jika nilainya di atas Rp10 juta atau terbukti memiliki niat buruk.
Lebih jauh, pungutan tersebut juga bisa dikenakan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan. Dalam konteks ini, orang tua murid dipaksa membayar di luar kehendak, dengan tekanan sosial dan institusional—tanpa ada alternatif, tanpa transparansi, dan tanpa keadilan.
Namun, saat dikonfirmasi, Kepala SMKN 1 Kutacane justru memberikan pernyataan yang mempermalukan akal sehat publik. “Program ini sudah terlanjur, seperti ibu melahirkan anak, tak mungkin dimasukkan kembali ke dalam perut,” ucapnya, seolah melanggar hukum bisa dimaafkan hanya karena sudah berjalan.
Irwansyah meradang. “Kalau semua pelanggaran bisa dibenarkan hanya karena ‘telanjur’, maka perampok pun bisa berdalih dia sudah terlanjur mengambil uang. Ini bukan negara dagelan. Ini negara hukum,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa Kepala Dinas Pendidikan Cabang Aceh Tenggara saat dikonfirmasi menyatakan bahwa tidak dibenarkan pungutan dalam bentuk apa pun kepada siswa baru, termasuk yang dibungkus dengan program sekolah. Ini berarti tidak ada legalitas terhadap kutipan seragam yang dilakukan SMKN 1 Kutacane.
Saat ini, Irwansyah mendesak Aparat Penegak Hukum (APH), mulai dari Polres Aceh Tenggara hingga Kejaksaan Negeri, untuk segera bertindak dan memproses dugaan pelanggaran hukum tersebut. Ia menegaskan bahwa KOREK siap menyerahkan seluruh bukti dan keterangan yang dimiliki, termasuk dokumentasi pengakuan dari pihak sekolah.
“Kalau hukum masih punya gigi, ini saatnya menggigit. Jangan sampai hukum hanya berlaku untuk pencuri ayam, sementara pejabat pendidikan bebas jualan baju di atas penderitaan rakyat miskin,” kata Irwansyah.
Ia juga meminta agar Inspektorat dan Ombudsman segera turun tangan untuk melakukan audit dan investigasi terhadap seluruh satuan pendidikan yang mengklaim beroperasi di bawah sistem BLUD. “BLUD itu bukan paspor untuk pungli. BLUD adalah mekanisme manajemen, bukan senjata untuk menyedot uang wali murid,” lanjutnya.
Kini, publik menunggu: apakah aparat penegak hukum hanya akan menjadi penonton, atau akan bertindak sesuai sumpah jabatan mereka. Apakah seragam yang seharusnya menjadi simbol disiplin justru menjadi simbol pembusukan sistem? Apakah hukum akan sekali lagi dibeli murah dengan alasan ‘terlanjur’?
Satu hal yang pasti: jika praktik semacam ini dibiarkan hidup, maka dunia pendidikan akan terus menjadi lahan basah pungli yang dilindungi retorika. Dan anak-anak Aceh akan belajar sejak dini, bukan tentang kejujuran dan hukum, tetapi tentang bagaimana aturan bisa dilanggar asal dibungkus rapi. (TIM)