Jakarta,Indonesia. Agaranews.com // Jakarta 18/4/2025. Insiden penghapusan artikel wartawan Radio Republik Indonesia (RRI) terkait wilayah Zaporozhye, Rusia, memantik pertanyaan serius mengenai independensi media di Indonesia. Kali ini, suara tegas datang dari Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA., Tokoh PERS Nasional bahkan Internasional yang menyebut tindakan tersebut sebagai bentuk “mempermalukan jurnalisme nasional” dan mendesak RRI untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka.
“Ini bukan sekadar soal konten dihapus. Ini adalah tamparan terhadap kredibilitas media Indonesia. Jika media publik seperti RRI bisa diintervensi hingga menghapus berita tanpa alasan jelas, lalu di mana letak kebebasan pers yang selama ini kita banggakan?” tegas Wilson Lalengke dalam pernyataan resminya, Kamis (17/4/2025).
Kemarahan Alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012 ini bukan tanpa dasar. Ia menerima langsung surat terbuka dari Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov, yang ditujukan kepada Ketua Dewan Pers RI, Dr. Ninik Rahayu. Dalam surat tersebut, Dubes Tolchenov mengekspresikan keprihatinannya terhadap penghapusan artikel Retno Mandasari—wartawan RRI yang ikut serta dalam press tour ke wilayah Zaporozhye, sebuah daerah baru Rusia, bersama jurnalis dari berbagai negara lain.Retno Mandasari, melalui publikasinya di situs resmi RRI, melaporkan kondisi aktual di Zaporozhye dari sudut pandang yang jarang ditemukan di media arus utama Barat. Namun, artikel-artikel itu secara tiba-tiba dihapus. Tak ada penjelasan resmi. Tak ada klarifikasi publik. Menurut informasi dari Dubes Rusia, penghapusan itu diduga atas tekanan dari Kedutaan Besar Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tindakan itu bisa ditafsirkan sebagai bentuk pembungkaman terhadap informasi alternatif yang sah. Padahal, jurnalis seharusnya memiliki ruang bebas untuk menyampaikan fakta di lapangan, bukan dikurung oleh kepentingan politik luar negeri,” ujar Wilson Lalengke.
Lebih jauh, ia menyebut kejadian ini dapat menimbulkan asumsi bahwa media Indonesia—dalam hal ini RRI—menerima keuntungan tertentu dari pihak luar dalam menentukan narasi pemberitaan. Baik dalam bentuk materi, akses, maupun imbalan politik. “Kalau informasi diatur karena ada benefit di balik layar, maka jurnalisme kita sudah tidak netral. Ini bukan lagi penyiaran publik, tapi propaganda terselubung. Masyarakat harus tahu dan menolak model jurnalisme seperti itu,” sambungnya.
Dalam kesempatan yang sama, PPWI menyerukan kepada seluruh pewarta dan pekerja media di Indonesia untuk menjunjung tinggi nilai-nilai independensi dan kepentingan publik. Organisasi ini menolak keras segala bentuk jurnalisme transaksional dan partisan.
“Jangan melacurkan jurnalisme Indonesia demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu,” tegas wartawan senior itu.
Ia menegaskan, jurnalis adalah pilar keempat demokrasi yang berfungsi sebagai pengawas kekuasaan dan penghubung antarbangsa. Jika profesi ini dijalankan dengan motivasi politis atau finansial, maka masyarakatlah yang akan dirugikan.
Dalam suratnya kepada Ketua Dewan Pers, Sergei Tolchenov menyampaikan bahwa kunjungan jurnalis asing, termasuk dari Indonesia, ke wilayah Zaporozhye adalah bagian dari upaya diplomatik untuk menyeimbangkan pemberitaan global tentang Rusia. “Kami percaya bahwa kunjungan seperti ini memberikan kesempatan kepada para wartawan untuk menerangkan situasi di Rusia dan sekitarnya dengan seimbang dan benar,” tulis Tolchenov.
Namun penghapusan seluruh artikel karya Retno Mandasari dinilai sebagai tindakan yang mencederai prinsip keterbukaan informasi. Dubes Rusia bahkan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran HAM, karena menghalangi publik mengakses narasi alternatif dan membungkam pengalaman langsung seorang jurnalis di lapangan.
Tolchenov berharap Dewan Pers dapat bertindak untuk menjaga keberimbangan dan menjamin bahwa berita-berita Retno bisa kembali dimuat. “Kami percaya pada integritas profesional para wartawan Indonesia serta komitmen mereka untuk melakukan pekerjaannya dengan prinsip tidak memihak,” tutupnya dalam surat terbuka tersebut.
Menurut Wilson Lalengke, penghapusan artikel Retno Mandasari oleh RRI tanpa alasan yang jelas dan dugaan adanya intervensi asing dalam proses editorial bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap beberapa aturan dalam perundang-undangan Indonesia, terutama yang menyangkut kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Berikut beberapa aturan yang harus dihormati dan ditaati oleh setiap pewarta dan warga negara berkaitan dengan penyediaan dan akses informasi bagi publik.
Pertama, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28F, yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Dengan menghapus artikel jurnalistik tanpa penjelasan, RRI dianggap melanggar hak publik untuk memperoleh informasi yang sah dan berimbang, serta membatasi kebebasan wartawan dalam menyampaikan informasi secara independen.
Kedua, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 4 Ayat (2) yang menegaskan bahwa “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.” Dan Pasal 4 Ayat (3) bahwa “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”
Jika benar terjadi tekanan dari pihak luar (dalam hal ini dugaan Kedubes Ukraina), maka RRI dapat dinilai tunduk pada bentuk penyensoran tidak resmi (soft censorship) yang melanggar prinsip kemerdekaan pers sebagaimana diatur dalam UU Pers. PPWI menyatakan menolak keras intervensi kedutaan besar asing dalam menentukan kelayakan informasi yang beredar di masyarakat Indonesia.
Ketiga, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Pasal 3: Tujuan UU KIP, salah satunya adalah “Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.” Oleh sebab itu, penghapusan konten jurnalistik oleh media publik seperti RRI tanpa alasan dan penjelasan kepada publik, bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi yang dijamin undang-undang.
Dalam pandangan Wilson Lalengke, penghapusan sepihak atas karya jurnalistik yang dilindungi konstitusi dan UU Pers dapat dianggap sebagai pelanggaran atas UUD 1945 Pasal 28F (hak atas informasi), UU Pers Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) yakni kemerdekaan menyampaikan indormasi, dan UU KIP (hak rakyat atas informasi publik). Kasus yang melibatkan wartawan Retno Mandasari dan RRI yang diprotes pihak Kedutaan Besar Rusia itu telah menjadi preseden buruk dalam praktik jurnalisme Indonesia dan harus dipertanggungjawabkan oleh para pihakt terkait.
Hingga berita ini diturunkan, diharapkan ada pernyataan resmi dari pihak Humas RRI maupun Dewan Pers mengenai penghapusan artikel tulisan Retno Mandasari atau ada dugaan intervensi asing. Lebih daripada itu, kejadian ini bisa menjadi titik balik dalam evaluasi menyeluruh terhadap independensi media di Indonesia. Di tengah arus informasi global yang semakin kompleks dan penuh tekanan geopolitik, media nasional dituntut untuk tetap tegak lurus pada prinsip: fakta bukan fiksi, publik bukan patron. (TIM/Red)”(JS)