Bandar Lampung-AgaraNews.com//
Pernyataan tertulis Pembina Yayasan Alih Teknologi Bandar Lampung (YATBL), Rusli Bintang, yang menyebut Universitas Malahayati didirikan untuk amal dan bukan warisan keluarga, kini menuai respons keras dari berbagai pihak. Pasalnya, isi akta hukum yang diklaim sebagai dasar legal justru membuktikan sebaliknya.
Dalam akta Notaris No. 243 Tanggal 17 Januari 2025 yang disahkan Kemenkumham dan dirujuk oleh Rusli sendiri, seluruh susunan pengurus yayasan justru diganti secara sepihak. Nama anak-anak dari istri pertama—yang turut membesarkan yayasan dan kampus selama puluhan tahun—dikeluarkan dari struktur.
Sebaliknya, kursi-kursi penting dalam yayasan diisi oleh istri kedua dan anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kalau benar untuk masyarakat Lampung, mengapa hanya satu sisi keluarga yang dimasukkan ke dalam yayasan? Itu bukan amal, itu warisan yang dibungkus legalitas,” ujar salah satu tokoh akademisi Universitas Malahayati.
Pernyataan Rusli bahwa yayasan tidak dapat diwariskan pun terasa ganjil, sebab tindakan hukum yang ia tempuh justru memperlihatkan pewarisan kekuasaan secara struktural, tertutup, dan penuh konflik kepentingan.
Lebih jauh, kekhawatiran publik terhadap masa depan kampus ini bukan tanpa dasar. Salah satu institusi pendidikan lain yang dikelola oleh kelompok yang kini ingin menguasai YATBL adalah Institut Kesehatan Indonesia (IKI) di Jakarta.
_“IKI jelas-jelas tidak mampu dikelola dengan benar. Apakah Universitas Malahayati akan diarahkan ke jurang yang sama?”_ (16/04/2025) unimal,ujar salah satu dosen senior yang kini angkat bicara.
Sementara itu, publik menilai langkah pelantikan pengurus yayasan di hotel mewah tanpa kuorum dan tanpa keterlibatan pengurus lama sebagai tindakan simbolik yang tidak menjawab substansi konflik.
Terlebih lagi, janji Rusli kepada aparat dan masyarakat untuk berdialog secara kekeluargaan tidak pernah ditepati.
Saat massa mahasiswa dan masyarakat menunggu, hanya Ibu Rosnati—istri sah dan ibu dari anak-anak yang dikeluarkan dari yayasan—yang datang sendirian menghadapi kerumunan.
“Rusli bintang bilang sedih, tapi terus menyulut api konflik, Mendatangkan Preman dari jakarta sampai 3 bis, tidak selsaai dengan itu mendatangkan preman yang dibungkus dengan pakaian satpam. Kalau memang ingin damai, seharusnya beliau duduk bersama, bukan sembunyi di balik akta dan pelantikan diam-diam,” tegas seorang mahasiswa Malahayati yang mengikuti aksi damai beberapa waktu lalu.
Kini, masyarakat Lampung, civitas akademika, dan alumni hanya punya satu harapan: agar Universitas Malahayati dikembalikan ke jalur semestinya—bukan menjadi korban dari drama pewarisan kekuasaan yang dibungkus jargon pengabdian.(Rg/Tim)