OPINI
Koperasi adalah simbol kemandirian ekonomi rakyat. Ia lahir bukan dari keputusan elite, melainkan dari denyut kebutuhan masyarakat yang ingin membangun kekuatan ekonomi secara kolektif. Dalam koperasi, setiap anggota memiliki suara, dan setiap keputusan diambil secara demokratis. Semangatnya: gotong royong, bukan dominasi. Kesetaraannya: satu anggota, satu suara, bukan satu jabatan, seribu kuasa. Tapi idealisme itu kini sedang diuji. Dikhianati oleh infiltrasi kekuasaan yang menjadikan koperasi bukan lagi alat rakyat, melainkan kendaraan politik dan bisnis segelintir orang.
Koperasi Merah Putih adalah cerminan dari kerusakan itu. Di atas kertas, koperasi ini membawa nama besar: merah putih, simbol nasionalisme. Tapi di balik benderanya yang gagah, struktur pengelolaannya menyimpan tanda tanya besar: mengapa ada nama-nama perangkat desa aktif? Mengapa istri aparatur sipil negara duduk di kursi pengurus? Ini bukan isu sepele. Ini adalah soal integritas kelembagaan. Ketika pemegang jabatan publik atau keluarganya terlibat langsung dalam kepengurusan koperasi, maka kita tak lagi bicara tentang partisipasi warga. Kita sedang bicara tentang tumpang tindih kepentingan dan penyalahgunaan posisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka tidak berdiri sebagai anggota biasa. Mereka berada di pucuk struktur, mengatur arah, mengelola sumber daya, dan—lebih berbahaya—memiliki akses pada kebijakan publik. Bayangkan seorang perangkat desa yang memegang kekuasaan administratif, sekaligus menjadi pengurus koperasi yang mengelola aset dan dana. Bukankah ini membuka peluang lebar untuk manipulasi data, pengaruh kebijakan, bahkan pengalihan dana desa yang dibungkus dalam nama “bantuan koperasi”? Bukankah ini menciptakan medan yang tak setara antara warga biasa dan pejabat yang memegang kendali?
Dalam sistem pemerintahan yang sehat, ada garis batas yang jelas antara jabatan publik dan kepentingan bisnis. Ketika garis itu dikaburkan, bahkan dilanggar secara sistematis, maka demokrasi lokal sedang dirusak dari dalam. Perangkat desa dan keluarga ASN seharusnya menjadi pelayan masyarakat, bukan pelaku utama dalam lembaga ekonomi rakyat. Ketika mereka duduk di koperasi sebagai pengurus, maka relasi kuasa menjadi timpang. Warga tak lagi bebas bersuara, karena koperasi bukan lagi milik bersama, tetapi milik mereka yang berkuasa.
Apakah ini dibiarkan karena belum ada aturan yang melarang secara eksplisit? Justru di sinilah akar persoalan itu tumbuh subur. Ketika hukum gagal mengikuti dinamika penyusupan kekuasaan dalam koperasi, maka ruang abu-abu dimanfaatkan oleh elite lokal untuk membangun jaringan bisnis yang kebal dari pengawasan. Tidak ada aturan bukan berarti tidak ada pelanggaran. Tidak adanya payung hukum bukan berarti tindakan ini sah. Dalam etika publik, benturan kepentingan sekecil apa pun harus dihindari. Apalagi jika melibatkan anggaran, aset publik, dan relasi kekuasaan yang menyentuh hajat hidup warga desa.
Koperasi yang dikelola oleh perangkat desa dan keluarga ASN bukan sekadar risiko konflik kepentingan. Ini adalah bentuk kolonialisme baru—kolonialisme birokratik. Di mana kekuasaan yang seharusnya mengayomi justru memonopoli. Di mana warga yang seharusnya diberdayakan justru dikendalikan. Di mana koperasi yang seharusnya menjadi ruang demokratis justru berubah menjadi alat kendali vertikal dari elite desa terhadap warganya sendiri.
Lebih menyakitkan lagi, praktik semacam ini dibiarkan terjadi tanpa suara dari negara. Kementerian Koperasi diam. Inspektorat tidak bergerak. Pemerintah desa pura-pura tak tahu. Bukankah diam ini justru menjadi bentuk persetujuan? Bukankah abainya negara terhadap penyusupan kekuasaan dalam koperasi adalah pengkhianatan terhadap prinsip dasar ekonomi kerakyatan? Ketika tidak ada klarifikasi, tidak ada audit, dan tidak ada ketegasan, maka wajar bila publik mulai kehilangan kepercayaan.
Desa bukanlah wilayah kuasa segelintir orang. Desa adalah ruang hidup warga. Dan koperasi bukanlah mainan birokrat. Ia adalah wadah untuk membangun kemandirian ekonomi, dari bawah ke atas. Tapi ketika perangkat desa dan istri ASN menggunakan koperasi sebagai alat memperluas pengaruh dan mempertebal dompet, maka kita sedang menyaksikan pembusukan demokrasi ekonomi dalam bentuk paling kasat mata.
Koperasi Merah Putih bukan hanya soal legalitas. Ini soal legitimasi moral. Apakah koperasi ini benar-benar dikelola untuk kesejahteraan warga, atau hanya menjadi alat distribusi kuasa yang dikamuflase dengan bahasa pemberdayaan? Apakah koperasi ini menjalankan prinsip partisipasi sejati, atau sekadar menghimpun anggota untuk memperkuat legitimasi kelompok tertentu?
Negara tidak bisa terus berlindung di balik jargon “pemberdayaan ekonomi rakyat” jika faktanya justru kekuasaan yang diberdayakan. Sudah saatnya dibuat aturan eksplisit yang melarang perangkat desa aktif dan keluarga ASN terlibat dalam struktur pengelolaan koperasi. Bukan melarang ikut menjadi anggota, tapi melarang memegang jabatan yang menimbulkan konflik kepentingan. Lebih dari itu, negara harus turun tangan melakukan audit transparan terhadap koperasi-koperasi yang mencurigakan.
Masyarakat berhak tahu: siapa pengurus koperasi? Apa latar belakangnya? Apa afiliasinya dengan jabatan publik? Bagaimana aliran dananya? Siapa yang paling diuntungkan?
Jika semua ini tidak dijawab, dan koperasi dibiarkan menjadi ladang kepentingan, maka kita sedang menggali kubur bagi ekonomi kerakyatan. Dan ketika ekonomi kerakyatan mati, maka seluruh fondasi demokrasi lokal akan ikut roboh.
“Libatkan Perangkat Desa dan Istri ASN, Di Mana Payung Hukumnya?” bukan sekadar judul. Ini adalah panggilan publik agar negara tidak terus-menerus membiarkan penyusupan kekuasaan ke dalam koperasi. Karena jika ini dibiarkan, maka koperasi sebagai instrumen demokrasi ekonomi akan mati pelan-pelan—dibunuh oleh mereka yang semestinya melindunginya. (*)