Blangkejeren – Sorotan publik terhadap aktivitas PT Gayo Mineral Resources (PT GMR) di Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, kian meningkat seiring dengan menguatnya dugaan bahwa perusahaan tersebut telah melakukan eksplorasi di luar batas wilayah izin resmi. Bahkan sejumlah pengamatan menyebutkan bahwa sebagian alat berat milik perusahaan telah beroperasi dalam kawasan hutan lindung yang secara hukum tidak boleh disentuh tanpa mekanisme perizinan khusus.
Temuan ini berangkat dari hasil pencocokan koordinat lapangan dengan peta tutupan lahan dan kawasan hutan milik negara. Dari analisis tersebut, tampak bahwa kegiatan eksplorasi tidak lagi terbatas pada wilayah Areal Penggunaan Lain (APL), melainkan menjangkau wilayah yang seharusnya dilindungi berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Abdiansyah, Sekretaris Lembaga Leuser Aceh, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap dugaan pelanggaran ruang oleh perusahaan tambang tersebut. Menurutnya, kegiatan eksplorasi yang melewati batas izin bukan hanya tindakan melawan hukum, tetapi juga bentuk pengabaian terhadap tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan yang bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Berdasarkan pantauan dan laporan yang kami himpun, aktivitas PT GMR tidak lagi berada di wilayah yang sesuai izin. Mereka diduga telah menembus kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai. Ini sangat serius dan harus segera ditindak,” ujar Abdiansyah saat diwawancarai di Blangkejeren, Jumat (20/6/2025).
Ia mengingatkan bahwa eksplorasi maupun operasi tambang di kawasan hutan lindung tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) dan Pasal 78 Undang-Undang Kehutanan. Bahkan jika terbukti melakukan kegiatan dalam kawasan konservasi tanpa prosedur, pelaku dapat dijerat dengan hukuman penjara dan denda maksimal miliaran rupiah.
Abdiansyah juga menekankan pentingnya keterbukaan dokumen. Hingga kini, belum ada publikasi resmi dari PT GMR yang menunjukkan batas koordinat wilayah IUP mereka, dokumen UKL-UPL, maupun AMDAL. Ketertutupan ini membuat publik dan pemangku kepentingan lainnya kesulitan melakukan pengawasan dan verifikasi mandiri atas legalitas kegiatan perusahaan.
“Transparansi menjadi pertaruhan besar di sini. Jika mereka benar, mestinya berani membuka dokumen izin eksplorasi dan peta wilayah kerjanya. Tapi jika tertutup, maka wajar jika masyarakat mencurigai adanya pelanggaran,” tambahnya.
Ia juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan dari instansi terkait, seperti Dinas ESDM dan Dinas Kehutanan Aceh. Menurutnya, absennya audit lapangan yang melibatkan pihak independen hanya akan memperkuat spekulasi bahwa pemerintah sengaja membiarkan pelanggaran ini berjalan tanpa kontrol.
“Kami minta Gubernur Aceh segera menurunkan tim investigasi lintas sektor, yang tidak hanya mengandalkan data perusahaan, tapi juga melibatkan ahli kehutanan, geospasial, dan masyarakat adat. Evaluasi harus dilakukan secara terbuka dan hasilnya diumumkan ke publik,” tegasnya.
Abdiansyah menegaskan, jika benar PT GMR beroperasi di luar batas izin, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mencabut izin mereka. Bahkan jika terbukti memasuki kawasan hutan lindung tanpa izin, proses hukum harus segera ditegakkan sesuai peraturan yang berlaku.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak PT GMR belum memberikan jawaban atas permintaan klarifikasi terkait batas wilayah eksplorasi. Dinas ESDM Aceh dan Dinas Lingkungan Hidup juga belum merespons pertanyaan wartawan terkait langkah evaluasi teknis terhadap kegiatan perusahaan tersebut.
Sementara itu, desakan dari masyarakat dan organisasi lingkungan terus menguat agar pemerintah mengambil langkah cepat dan tegas. Jika tidak, dikhawatirkan eksplorasi yang diduga ilegal ini akan meninggalkan kerusakan permanen di kawasan hutan yang selama ini menjadi benteng ekologi utama Gayo Lues. (TIM)