Gayo Lues — Pembangunan Jembatan Begade Empat di jalur jalan nasional Blangkejeren–Gayo Lues kini tengah menjadi sorotan lantaran terdapat dugaan pelanggaran serius terkait penggunaan material. Proyek tersebut berlokasi di Desa Kampung Ramung Musara, Dusun Begade Empat, Kecamatan Putri Betung, Gayo Lues, dan menyedot anggaran hingga Rp9.354.107.995 yang bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2025.
Berdasarkan hasil investigasi dan konfirmasi langsung tim media di lapangan, terungkap pengakuan seorang pekerja pengawas lapangan bahwa sebagian material berupa pasir dan batu (sertu) untuk timbunan abutment jembatan berasal dari Basecamp Rikit, Kecamatan Rikit Gaib, dan dikirim oleh pihak bernama Nanda.

“NCA kita dari Basecamp Rikit, Bang,” ujar salah satu pekerja saat ditanyai di lokasi proyek. Pengakuan ini terekam dalam video yang memperkuat indikasi pengambilan material dari luar zona kerja, dan yang lebih mencemaskan, lokasi pengambilan diduga merupakan kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Material tersebut disebut dipasok oleh perusahaan PT Lembah Alas, yang sudah lama dikenal sebagai penyedia material proyek di kawasan Gayo Lues. Namun, izin Galian C milik perusahaan ini diduga telah habis masa berlakunya alias sudah mati, sebagaimana dikemukakan oleh narasumber warga dan pekerja sekitar proyek.
“Kami dengar PT Lembah Alas yang mengirim material itu dari Rikit. Tapi izinnya sudah mati, Bang. Kalau begitu terus, ini jelas-jelas ilegal,” ungkap seorang warga.

Jika benar demikian, maka pengambilan material dari Rikit Gaib dan kawasan TNGL bukan hanya melanggar etika pengadaan proyek pemerintah, melainkan juga pelanggaran hukum berat. Sesuai Permen ESDM No. 7 Tahun 2020, setiap pengambilan material galian seperti pasir dan batu harus memiliki izin yang masih berlaku. Tanpa izin ini, aktivitas tergolong eksploitasi ilegal.
Sejumlah regulasi yang berpotensi dilanggar antara lain:
Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha pertambangan tanpa izin, diancam pidana penjara dan denda.
UU No. 41 Tahun 1999 juncto UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Perusakan Hutan, yang mengatur pengambilan sumber daya dari kawasan konservasi seperti TNGL merupakan tindak pidana kehutanan.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang memberi sanksi pidana bagi kegiatan proyek yang tidak dilengkapi dokumen AMDAL atau UKL-UPL.
Dalam pengakuan pekerja yang ditemui langsung di lapangan, mereka juga menyampaikan bahwa pengerjaan proyek sudah berjalan hampir empat bulan dan ditargetkan selesai sekitar Desember 2025, sesuai masa kontrak 240 hari kalender yang dimulai sejak 25 Maret 2025.
Meski papan proyek menyatakan “proyek ini dilaksanakan dengan biaya sebagian dari pajak yang saudara bayar,” namun publik bertanya: apakah uang rakyat selayaknya digunakan untuk proyek dengan dugaan pelanggaran hukum dan kerusakan lingkungan?
“Kalau material diambil dari TNGL dan suplai dari perusahaan yang diduga tak punya izin aktif, maka seluruh progres pekerjaan bisa dianggap dibangun di atas pelanggaran hukum,” ujar seorang aktivis lingkungan lokal. “Mau dibangun jalan atau jembatan, tidak ada yang membenarkan perusakan hutan konservasi,” lanjutnya.
Warga meminta pihak terkait seperti Balai TNGL, Kementerian PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, dan aparat penegak hukum segera turun ke lapangan untuk memverifikasi isu ini dan menindak jika terbukti terjadi pelanggaran.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak pelaksana proyek CV. Farid Atallah, maupun pihak pengawas dari konsorsium PT. NUSVEY KSO – PT. CIPTA STRADA KSO – PT. VISIPLAN KONSULTAN.
Publik mendesak agar kegiatan proyek diaudit secara independen. Jika terbukti melanggar, mereka mendesak agar kontraktor dan seluruh pihak terlibat mendapat sanksi tegas serta dimintai pertanggungjawaban hukum.
Pembangunan bukanlah alasan untuk membenarkan perusakan lingkungan dan pelanggaran hukum. Alih-alih menjadi simbol kemajuan, proyek bisa saja berubah menjadi bukti nyata kegagalan pemerintah menegakkan aturan di wilayah konservasi.
(Tim Investigasi Lapangan | Gayo Lues)



































