Sidoarjo || Agaranews.com – Kamis, (6/11) Sebuah kasus dugaan pelanggaran hak anak untuk memperoleh pendidikan mencuat di SMAN 1 Taman, Sidoarjo. M. Risky Firmansyah, seorang siswa kelas X yang baru sebulan diterima melalui jalur afirmasi pada tahun ajaran 2025/2026, dikeluarkan secara sepihak oleh pihak sekolah.
Keputusan kontroversial ini datang setelah orang tua siswa tersebut menuntaskan kewajiban finansial yang totalnya mencapai hampir Rp3.000.000.
Sebelum putusan pengeluaran, orang tua Firmansyah telah membayar sejumlah administrasi penting, yang rinciannya meliputi:
*Uang administrasi seragam dan perlengkapan sekolah: Rp1.995.000.
*Uang tahunan: Rp265.000.
*Uang sumbangan bulanan untuk tiga bulan pertama: Rp300.000.
Tak lama setelah Firmansyah aktif mengikuti kegiatan belajar, pihak sekolah tiba-tiba mendatangi rumahnya. Sekolah menyampaikan alasan mengejutkan bahwa mereka “tidak sanggup mendidik” Firmansyah, dengan dalih IQ siswa dinilai rendah, dan menyarankan siswa tersebut untuk pindah ke sekolah lain.
Tri, ayah dari M. Risky Firmansyah, mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam atas perlakuan tersebut. Ia menilai keputusan SMAN 1 Taman sangat tidak adil dan merugikan keluarga.
“Kalau memang anak saya dianggap tidak memenuhi standar, seharusnya sejak awal jangan diterima. Kami sudah membayar semua kewajiban sekolah, termasuk biaya seragam dan sumbangan. Tiba-tiba setelah sebulan belajar, anak saya dikeluarkan begitu saja. Kami jelas tidak terima dan akan terus mencari keadilan,” tegas Tri.
Upaya damai yang ditempuh keluarga untuk meminta pengembalian dana yang telah dibayarkan juga tidak mendapat respons dari pihak sekolah.
Kasus ini sontak menarik perhatian publik dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Masyarakat Peduli Reformasi (GEMPAR) Sidoarjo. Ketua LSM GEMPAR Sidoarjo, Agus Harianto, S.H., bersama tim media, segera mendatangi kediaman orang tua korban untuk menelusuri kebenaran peristiwa ini.
Menurut Agus Harianto, tindakan sekolah mengeluarkan siswa tanpa dasar hukum yang jelas dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius terhadap hak anak untuk memperoleh pendidikan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 31 ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, tindakan ini juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang melarang tindakan yang menghambat anak dalam memperoleh pendidikan.
Lebih lanjut, LSM GEMPAR Sidoarjo mencium dugaan adanya indikasi penyalahgunaan kewenangan dan potensi permainan lingkungan sekolah.
“Kami menduga ada permainan di balik pengeluaran siswa ini. Bisa jadi ada ‘titipan’ untuk mengisi kursi yang kosong setelah Firmansyah dikeluarkan. Jika benar, ini jelas mencoreng dunia pendidikan,” tegas Agus Harianto.
LSM GEMPAR mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur untuk segera turun tangan, memeriksa kasus ini secara menyeluruh, dan memberikan sanksi tegas kepada pihak SMAN 1 Taman apabila terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum dan etika pendidikan.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada titik temu antara pihak keluarga dan sekolah, dan bola panas penyelesaian kasus kini berada di tangan dinas terkait(Arju Herman/Lia Hambali)



































