Banda Aceh, AgaraNews. Com // Polemik pengalihan status empat pulau tak berpenghuni dari Aceh ke Sumatera Utara yang tertuang dalam Kepmendagri No. 300.2.2-2138 tahun 2025, yang terus bergulir dan memicu gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Kali ini, Koprs Pergerakan Mahasiswa Isalam Indonesia (PMII) Putri atau KOPRI PKC PMII Aceh secara tegas menyuarakan sikap menolak keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang dinilai cacat prosedural dan berpotensi menggerus semangat otonomi khusus Aceh.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua KOPRI PKC PMII Aceh, Desi Hartika, menyebut kebijakan pemindahan administratif Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Ketek, dan Mangkir Gadang ke wilayah Sumut dilakukan tanpa melalui kajian holistik, tanpa partisipasi publik, dan tanpa mempertimbangkan dampak strategis terhadap kedaulatan sumber daya Aceh.
“Perubahan status ini bukan sekadar teknis administratif. Ini menyentuh jantung identitas dan kedaulatan Aceh. Tanpa kajian sejarah, ekologi, ekonomi, dan tanpa melibatkan publik Aceh, kebijakan ini sangat bermasalah secara hukum maupun moral,” tegas Desi dalam pernyataan resminya, Jumat (13/6).
Desi menyebut kebijakan Kemendagri sebagai bentuk kesalahan administratif yang tidak boleh mengorbankan kedaulatan Aceh. Oleh karena itu, KOPRI PKC PMII Aceh menyampaikan tiga tuntutan utama sebagai langkah korektif terhadap keputusan tersebut:
1. Pencabutan segera regulasi pemindahan pulau oleh Mendagri,
2. Lakukan peninjauan ulang oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) terhadap peta yang menempatkan pulau-pulau itu ke Sumut.
3. Keterbukaan data potensi sumber daya alam, termasuk nikel dan migas, yang terdapat di empat pulau tersebut.
Lebih lanjut, Desi menyerukan seluruh elemen masyarakat Aceh untuk tetap rasional dan tidak terprovokasi, namun aktif mengawal kebijakan ini agar tidak menjadi celah perampasan sumber daya.
“Pulau-pulau itu mungkin tidak berpenghuni, tapi mereka menyimpan napas sejarah Aceh dan masa depan anak cucu kita. Kesalahan kebijakan seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut, karena dapat meruntuhkan kepercayaan rakyat pada negara,” tegasnya.
Sebagai bentuk komitmen, KOPRI PKC PMII Aceh juga mendesak diberlakukannya moratorium kebijakan hingga dibentuk tim verifikasi batas wilayah yang bersifat independen dan melibatkan unsur pemerintah pusat dan daerah.
“Kami, Kopri PKC PMII Aceh, akan berdiri di garda terdepan untuk memastikan hak Aceh dikembalikan. Dan saya pribadi siap mengawal setiap proses hukum dan administratif yang berlaku,” ungkap Desi.
Pernyataan ini menjadi bagian dari konsolidasi gerakan moral masyarakat sipil Aceh yang terus menuntut keadilan dalam pengelolaan wilayah dan sumber daya, serta mengingatkan bahwa setiap keputusan administratif harus menghormati sejarah, identitas, dan hak konstitusional masyarakat daerah.
Dan kepada pemerintah Aceh, Desi meminta, jika Pemerintah Aceh ingin mengubah keadaan, mereka harus mengangkat isu ini menjadi prioritas strategis, membentuk task force batas wilayah, dan menggunakan segala jalur administratif, politik, dan sosial untuk menekan pemerintah pusat.
“Dengan begitu, Realisasi UUPA dan MoU Helsinki bisa terealisasi dengan benar dan Marwah daerah Aceh dipulihkan” tutupnya.( Lia Hambali)